LARANGAN TAQLID BUTA

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
Terjemahan :
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra’: 36)
Tafsirnya Ma’anil Mudrafat :
وَلَا تَقْفُ : (dan janganlah kamu mengikuti). Fi‘il Nahi (فِعْلُ النَّهْيِ) adalah kata kerja yang menunjukkan pada arti larangan. Sering kita terjemahkan dengan “jangan”. Sedang kata “taqfu”(تَقْفُ) berasal darikata dasar : yang artinya : mengikuti. yakni,jangan kamu mengikuti jejak, jangan kamu mengikuti omongan, jangan kamu mengikuti pemikiran. Bisa juga diartikan jangan kamu mempercayai ….. dan jangan kamu mengamalkan…
مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ : (Sesuatu yang tidak ada bagimu ilmu tentang itu). Dan yang dimaksud dengan kata “ma” (مَا) : sesuatu atau apa-apa,disini,beberapa ulama’ tafsir (mufassir),ada yang menafsirkannya dengan: kesaksian (syahadah). Yakni janganlah kamu mempercayai kesaksian yang kamu sendiri tidak mengetahui dengan matakepala sendiri. Yang daemikian itu dapat dinilai sebagai dosa (syahadatuz zuur), sebagaimana tersebut dalam riwayat, Anas bin Malik meriwayatkan, Rasulullah SAW. bertanya , “Maukah kalian kuberitahu tentang sebesar-besar dosa besar? Yaitu, omongan dusta atau kesaksian dusta.” (HR. Muslim,128).
Ada pula yang menafsiri dengan prasangka yang tidak berdasar, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: Dan kebanyakan mereka (orang-orang kafir) itu tidak mengikuti (petunjuk) kecuali hanya prasangka saja. Sedangkan sesungguhnya prasangka itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.(QS. Yunus: 36)
Sementara, ada pula yang menafsirinya dengan kepercayaan yang tidak benar, misalnya karena tradisi nenek moyang, seperti yang difirmankan Allah: Berhala-berhala itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu buat-buat, sedangkan Allah sama sekali tidak menurunkan keterangan tentang nama-nama itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka. Padahal sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.(QS. an-Najm: 23).
Bahkan ada pula yang menafsirinya dengan hukum syara’. Dan karena hukum itu berdasarkan dalil, baik dari ayat al-Quran maupun hadis Nabi SAW., maka larangan yang dimaksud dalam ayat di atas, adalah larangan mengikuti hukum tanpa dalil, Yang dikenal “Taqlid “. Atau yang sering dikenal dengan “Taqlid Buta”, yaitu ikut-ikutan pendapat orang lain, tanpa kontrol apakah berdasarkan dalil dan pemikiran yang benar atau tidak. Biasanya karena fanatik, seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah purba, yang kemudian ditegur oleh Allah SWT, Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. maka mereka menjawab, “(Tidak), bahkan kami hanya akan mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. ” (Lalu disanggah oleh Allah) “Apakah nenek moyang itu tetap akan diikuti, sekalipun mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. al-Baqarah: 170).
Ayat yang semakna tersebut di surah Al-Maidah 104: Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, ‘Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati dari apa-apa yang dikerjakan oleh bapak bapak kami terdahulu.” Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?
Pertanyaan dalam ayat tersebut, oleh kalangan ulama’ ahli bahasa disebut istifham inkari, pertanyaan yang sifatnya mengingkari. Yakni, nenek moyangmu yang tidak tahu agama itu jangan kamu ikuti. Itu adalah sesat dan menyesatkan. Sementara kalian sudah tahu ilmu. Semacam itulah yang dilarang dalam ayat 39 surat al-Isra’ di atas. Adapun bagi orang yang tidak berilmu, maka taqlid dibolehkan. Namun, harus tetap berusaha untuk belajar.
اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا :(Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati, semua itu nanti akan dimintai pertanggungjawaban darinya). Disebutnya tiga anggota badan di atas, yaitu: telinga,mata dan hati, dengan sifatnya yaitu mendengar, melihat dan berpikir, karenas sifat-sifat tersebut adalah fungsi utama masing-masing. Maka ketiga-tiganya itulah pangkal segala perilaku manusia, yang baik maupun yang tidak baik. Justru itu 3 komponen tersebut mempunyai tanggung jawab besar di hadapan Allah. Jika tidak difungsikan, maka hidup seseorang akan statis. Dan ini sangat bertentangan dengan peran manusia sebagai khalifatan fil ardhi, yang mengharuskan dinamisasi dalam seluruh aspek. Dan dinamisasi itu akan terwujud jika ketiga komponen itu difungsikan dengan optimal.
Fuad dalam lisanul Arab, katakan sama dengan qalb berdasar sebuah hadis, Uqbah bin amir mengatakan, Aku mendengar Rasullulah saw. bersabda “Orang Yaman itu hatinya paling lembut,hati nuraninya paling halus dan ketaatannya paling jitu.” (HR. Ahmad,16765).
Namun, kalau qalb diartikan dengan hati, dengan hati Maka Fu’ad diartikan dengan “hati kecil” atau pusat niat. Dan kalau qalb atau fuad itu sumber niat yang berarti pusat penggerak amal, maka mata (bashar) dan telinga (sama‘) adalah instrumen yang memberi masukan pada hati. Justru itulah, kalau dalam ayat tersebut dikatakan telinga, mata, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban amal seseorang kelak di Kiamat, adalah karena peran utama ketiga komponen di atas sangat besar.
Dalalatul Ayah
Dalalah ayat ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Hati adalah sumber segala bentuk perilaku manusia.
- Mata dan telinga adalah instrumen yang memberi masukan pada hati, justru itu agar perilaku itu baik, maka mata dan telinga harus dipergunakan untuk melihat dan mendengarkan hal-hal yang baik. Di antara hal-hal yang baik itu ialah ayat-ayat dan sunnah Rasullulah saw.
- Bagi orang yang berilmu, mengetahui dalil dalam beramal itu suatu keharusan. Karena itu dilarang taqlid buta.